MAKALAH ALIRAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH DAN MU'TAZILAH
MAKALAH
ALIRAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH DAN MU'TAZILAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Tauhid
Dosen Pengampu : Drs. H. Muhammad Mudhofi, M.Ag
Disusun Oleh :
Anisatul
Hidayah ( 1701026088
)
Bayu Anggara ( 1701026091 )
Callista Bunga A. ( 1701026100 )
Baginda Nur M. Failika ( 1701026126 )
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN
I.
LATAR
BELAKANG
Banyak
aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat islam. Mulai dari
timbulnya aliran berlatar belakang politik, yang kemudian aliran tersebut
berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga
bermacam-macam mazhab fikih, ushul fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Beragamnya aliran dan mazhab dalam islam itu menunjukkan bahwa umat islam
adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran, berarti umat islam adalah umat
yang dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak mau berfikir. Namun
dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat islam itu, tidak sedikit juga
yang mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi dalam umat,
khususnya aliran yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas teologi.
II.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apakah
definisi aliran Mu’tazilah dan ahlu sunnah wal jama’ah?
2.
Apakah
yang melatarbelakangi munculnya aliran Mu’tazilah dan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah?
3.
Bagaimanakah
dasar pemikiran aliran Mu’tazilah dan Ahlu Sunnah Wal jama’ah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
mu’tazilah dan ahlu sunnah wal jama’ah
Kata mu’tazilah berasal dari kata I’tazala, yang artinya “berpisah” atau “memisahkan diri”. Secara
teknis istilah Mu’tazilah dapat menunjuk pada dua golongan. Golongan pertama
(selanjutnya di sebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni,
golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti sikap
yang lembut dalam menengahi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan
lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah Bin Zubair. Golongan
kedua (selanjutnya di sebut Mu’tazilah II). Muncul sebagai respon persoalan
teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah karena peristiwa
tahkim. Golongan Mu’tazilah ini muncul karena berbeda pendapat dengan golongan
Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat
dosa besar. Kaum Mu’tazilah berarti orang-orang yang menyisihkan diri.[1]
Sedangkan Ahl al-Sunnah wa
al-Jama'ah atau Ahlus-Sunnah wal Jama'ah (Bahasa Arab: أهل السنة والجماعة)
atau lebih sering disingkat Ahlul-Sunnah (bahasa Arab: أهل السنة), Aswaja atau Sunni adalah
mereka yang senantiasa tegak di atas Islam berdasarkan Al Qur'an dan hadits yang shahih dengan pemahaman para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in atau Ahlu Sunnah Wal Jama’ah adalah istilah yang
tersusun dari tiga kata, yaitu:
1.
Kata
Ahl, yang berarti keluarga, pengikut atau golongan.
2.
Kata
as-sunnah, secara etimologis (bahasa) memiliki arti at-thariqoh(jalan dan
perilaku), baik jalan dan perilaku tersebut benar atau keliru. Secara
terminologi (istilah), para ulama berbeda pendapat tentang pengertian
as-sunnah.
3.
Kata
jama’ah, secara etimologis ialah orang-orang yang memelihara kebersamaan dan
kolektifitas dalam mencapai tujuan.[2]
Jama’ah adalah jalan yang di tempuh oleh Ahli Sunnah yang meninggalkan segala
macam bid’ah. Inilah yang di sebut al-haq. Pengertian jama’ah disini merujuk
kepada para sahabat Nabi, ahli ilmu, ahli ijma’, atau as-Sawadul
A’zham(kelompok mayoritas).
Jadi, Ahlu Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan mayoritas umat
Muhammad. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka
dalam dasar-dasar akidah.
B.
Sejarah
munculnya aliran Mu’tazilah dan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
1.
Mu’tazilah
Aliran
Mu’tazilah lahir di Basrah pada permulaan abad pertama hijrah, yang dipelopori
oleh Washil bin ‘Atha dan Amru bin Ubaid, aliran ini cepat berkembang dengan
membahas ilmu kalam lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada yang dibahas
aliran-aliran sebelumnya. Dalam pembahasan masalah banyak yang menggunakan
akal, sehingga terkenal dengan aliran rasionalis Islam. Menurut sejarah, dulu
kala ketika seseorang bertanya kepada Al-Hasan di Basra, apakah pendosa besar
harus dianggap mu’min atau tidak, Al-Hasan ragu, Wasil Bin Ata’ mengambil
kesempatan itu untuk memberikan penilaian bahwa pendosa besar bukan mu’min juga
bukan kafir, tapi orang itu berada pada posisi pertengahan (al-manzilah bain
al-manzilatain) yang merupakan salah satu lima dasar teologi Mu’tazilah.
Menurut riwayat Wasil kemudian memisahkan diri (I’tazala) dari kelompok
al-Hasan dan diikuti oleh beberapa murid Hasan, termasuk Amr Ibn ‘Ubayd. Bentuk
“pemisahan diri” dari kalangan al-Hasan di Basrah inilah etimologi istilah Arab
“Mu’tazilah” sering di hubungkan.[3]
2.
Ahlu
Sunnah Wal Jama’ah
Istilah
ASWAJA pertama kalinya dipakai pada masa pemerintahan khalifah Abu Ja’far Al
Mansur (137-159 H/754-775 M) dan khalifah Harun Al- Rasyid (170-194 H/785-809
M), keduanya berasal dari dinasti Abbasiyah (750-1258). Istilah Ahlu Sunnah Wal
Jama’ah semakin tampak ke permukaan pada zaman pemerintahan khalifah Al-Ma’mun
(198-218 H/813-833 M).
Secara
khusus aliran Ahlu Sunnah Wal Jama’ah ini menuru kajian ilmu kalam memiliki
hubungan dekat dengan aliran Asyariyah dan Maturidiyah. Bahkan tidak jarang
kedua aliran ini di indentikan dengan aliran Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Kedekatan
aliran Asyariyah yang dipelopori oleh Abdul Hasan al Asy’ari (270-330 H) adalah
karena pandangannya yang kontroversial pada saat itu. Pandangan kontroversial
aliran ini adalah keberaniannya menentang pandangan Mu’tazilah yang cukup kuat
pada masanya.[4]
Lahirnya
penamaan Ahlu Sunnah Wal jama’ah karena mazhab Ahli Sunnah itu merupakan jalan
yang di tempuh Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Mereka bukan pembuat bid’ah,
sehingga nama tersebut tidak bisa dinisbatkan kepada perseorangan atau
kelompok. Oleh karena itu, tidak dapat dikatakan: “Mazhab Ahli Sunnah ini lahir
pada tahun sekian”. Adapun mengenai awal penamaan Ahli Sunnah Wal Jama’ah atau
Ahli Hadis ialah ketika telah terjadinya perpecahan, munculnya berbagai
golongan, serta banyaknya bid’ah dan penyimpangan. Pada saat itulah Ahli Sunnah
menampakkan identitasnya yang berbeda dengan yang lain, baik dalam aqidah
maupun manhaj mereka. Namun, pada hakikatnya, mereka itu hanya merupakan proses
kelanjutan dari apa yang di jalankan Rasulullah Saw dan para sahabatnya.[5]
C.
Pemikiran-pemikiran
aliran Mu’tazilah dan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
1.
Mu’tazilah
a.
At –
Tauhid (ke-Esaan)
merupakan
prinsip utama dari intisari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab
teologis dalam islam memegang doktrin ini. Namun bagi Mu’tazilah, tauhid
memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang
dapat mengurangi arti kemahaesaannya. Untuk memurnikan keesaan Tuhan,
Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat. Konsep ini bermula dari
founding father aliran ini, yakni Washil bin ‘Atho. Ia mengingkari bahwa
mengetahui, berkuasa, berkehendak, dan hidup adalah termasuk esensi Allah.
Menurutnya, jika sifat-sifatnya diakui sebagai kekal-azali, itu berarti
terdapat "pluralitas yang kekal” dan berarti bahwa kepercayaan kepada
Allah adalah dusta belaka. Namun gagasan Washil ini tidak mudah diterima. Pada
umumnya Mu’taziliyyah mereduksi sifat-sifat Allah menjadi dua, yakni ilmu dan
kuasa, dan menamakan keduanya sebagai sifat-sifat esensial. Selanjutnya mereka
mereduksi lagi kedua sifat dasar ini menjadi satu saja, yakni keesaan.
b.
Al-‘Adl
(keadilan Tuhan)
Ajaran
dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti Tuhan Maha Adil. Adil
ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan kesempurnaan, karena
Tuhan Maha sempurna Dia pasti adil. Faham ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan
benar-benar adil menurut sudut pandang manusia. Tuhan dipandang adil apabila
bertindak hanya yang baik dan terbaik. Begitupula Tuhan itu adil bila tidak
melanggar janjinya.
c.
Al-Wa’ad
wa al-Wa’id ( Janji dan ancaman)
Ajaran
ini berisi tentang janji dan ancaman. Tuhan yang Maha Adil tidak akan melanggar
janjinya dan perbuatan Tuhan terikat dan di batasi oleh janjinya sendiri. Ini
sesuai dengan prinsip keadilan. Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi
Tuhan selain menunaikan janjinya yaitu memberi pahala orang yang ta’at dan
menyiksa orang yang berbuat maksiat, ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong
manusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.
d.
Al-Manzilah
bain Al-Manzilatain (tempat diantara kedua tempat)
Inilah
ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab Mu’tazilah. Ajaran ini
terkenal dengan ststus orang mukmin yang melakukan dosa besar, seperti dalam
sejarah, khawarij menganggap orang tersebut kafir bahkan musyrik, sedangkan
murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mukmin dan dosanya sepenuhnya
diserahkan kepada Tuhan.
e.
Al-Amr
bi Al Ma’ruf wa Al Nahi Munkar (Menyuruh kebaikan dan melarang keburukkan)
Ajaran
ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan
konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan
dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan
mencegahnya dari kejahatan. Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab lain
mengenai ajaran kelima ini terletak pada tata pelaksanaannya. Menurut
Mu’tazilah jika memang diperlukan kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan
ajaran tersebut. [6]
2.
Ahlu
Sunnah Wal Jama’ah
a.
Sifat-sifat
Allah: itsbat bilaa takyif
Termasuk
beriman kepada Allah adalah mengimani sifat-sifat yang ditetapkan Allah bagi
diri-Nya di dalam Kitab-Nya dan yang disebutkan oleh Rosulallah, tanpa
penyimpangan dan pengingkaran, tanpa menyerupakan-Nya dan menggambarkan-Nya
dengan pemisalan. Akan tetapi, mereka mengimani bahwa tidak ada sesuatu apa pun
yang menyerupai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Asy syura 11)
فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ
أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا ۖ يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ ۚ لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis
kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan
(pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.
b.
Al
Qur’an adalah Kalamullah
Madzhab
salaf umat dan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah menandaskan bahwa Al Qur’an adalah
Kalamullah yang diturunkan, bukan diciptakan (makhluk). Al-Qur’an berasal dari
Allah (ada permulaan) dan kembali kepada-Nya. Dan dikuatkan oleh Rosulallah
SAW: “bahwa Allah berkata-kata dengan suara, memanggil Adam dengan suara....”
kalimat-kalimat inilah yang diyakini oleh salaf umat dan Imam-imam Sunnah. ( Juz
2:401-402).
c.
Allah
tidak bisa dilihat oleh siapa pun di dalam kehidupan dunia
Ahlu
Sunnah Wal Jama’ah bersepakat bahwa seluruh makhluk dapat melihat wujud Allah
dengan kedua matanya. Hal ini dikuatkan oleh hadits Shahih Muslim dari Nawwas
Ibnu Sam’an dari Nabi SAW, ketika dia menyebut Dajjal, dia berkata:
وَاعْلمُ ااَنَّ اَحَدً ا مِنْكُمْ لَنْ يَرَى رَبَّهُ حَتَّى
يَمُوْتَ
“Dan ketahuilah olehmu bahwa tak seorang
pun dari kalian yang dapat melihat Rabbnya sampai dia mati.” (juz 3:386-389).
d. Orang-orang
mukmin dapat melihat rabbnya di surga dengan kedua mata mereka.
Demikian juga para manusia akan melihat-Nya ketika di Padang
Mahsyar pada hari kiamat sebagaimana diriwayatkan hadits-hadits Nabi yang
termaktub dalam kitab-kitab shahih.
e. Mengimani
semua berita keadaan setelah mati yang disampaikan Rosulallah.
Termasuk mengimani hari akhir adalah suatu bentuk keimanan perihal
berita yang disampaikan Nabi yakni keadaan sesudah mati.
f. Mengimani
qadar Allah dengan segala tingkatannya.
Tingkat
pertama :
a. Beriman
bahwa Allah mengetahui segala perbuatan manusia.
b. Allah
telah menentukan ketetapan itu didalam Lauh Mahfudz, semua ketentuan-Nya itulah
taqdir.
Tingkat kedua:
a. Meliputi
kehendak Allah yang berlaku dan kekuasaan-Nya yang menyeluruh.
b. Perintah
taqwa kepada umat muslim yakni dengan mengamalkan segala perintah dan menjauhi
segala larangan-Nya.
g. Iman
adalah ucapan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang.
h. Iman
mempunyai ashl (pokok) dan furu’ (cabang). Imam seseorang tidak terlepas
kecuali dengan terlepasnya pokok keimanan. Oleh karenanya, mereka tidak
mengkafirkan seseorang dari ahli kiblat karena kemaksiatannya, kecuali jika
terlepas pokok keimanannya.
i.
Kemungkinan berkumpulnya antara siksa dan pahala pada diri
seseorang. Namun, mereka tidak mewajibkan siksa atau pahala pada orang tertentu
kecuali dengan dalil khusus.
j.
Mencintai dan mendukung sahabat Rosulalah, ahlul bait, dan
isteri-isteri Rosul tanpa meyakini adanya kema’shuman terhadap siapapun kecuali
Rosulallah SAW.
k. Membenarkan
adanya karomah para wali dan kejadian-kejadian luar biasa yang diberikan Allah
kepada mereka.
l.
Memerangi siapa pun yang keluar dari syari’at Islam, sekalipun ia
mengucapkan dua kalimat syahadat.
m. Berperang
bersama pemimpin-pemimpin mereka, baik pemimpin yang baik maupun durhaka, demi
mengucapkan syari’at Islam.[7]
BAB III
KESIMPULAN
Kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa aliran Ahlussunnah wal jama’ah dan aliran Mu’tazilah merupakan
aliran dengan corak akidah (teologi), hingga
bermacam-macam mazhab fikih, ushul fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Aliran
Mu’tazilah sangat mengedepankan rasional dan mengesampingkan Al Qur’an dan
Hadits, inilah yang tidak disepakati oleh ulama-ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah,
karena ASWAJA ini mengedepankan Al Qur’an dan Hadits daripada rasional (logika)
dan mengikuti dengan benar sunnah Rosulallah SAW ataupun para sahabat Rosul.
ASWAJA pertama kalinya dipakai pada masa pemerintahan khalifah Abu
Ja’far Al Mansur (137-159 H/754-775 M) dan khalifah Harun Al- Rasyid (170-194
H/785-809 M), keduanya berasal dari dinasti Abbasiyah (750-1258). Istilah Ahlu
Sunnah Wal Jama’ah semakin tampak ke permukaan pada zaman pemerintahan khalifah
Al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M).
Aliran Mu’tazilah lahir di Basrah pada permulaan abad pertama
hijrah, yang dipelopori oleh Washil bin ‘Atha dan Amru bin Ubaid, aliran ini
cepat berkembang dengan membahas ilmu kalam lebih mendalam dan bersifat
filosofis daripada yang dibahas aliran-aliran sebelumnya. Dalam pembahasan
masalah banyak yang menggunakan akal, sehingga terkenal dengan aliran
rasionalis Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Khunaifi, Agus, Ilmu Tauhid Sebuah Pengantar Menuju Muslim
Moderet, Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015
Abdul Hadi, M.A.M, Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah,
Jakarta: Gema Insani Press, 1992
Martin, Richard, dkk., Post Mu’tazilah Genealogi Konflik
Rasionalisme dan Tradisionalisme Islam, Yogyakarta: IRCiSoD, 2002
Rozak, Abdul dan Rosihin Anwar, Ilmu
Kalam Edisi Revisi, Bandung: Pustaka Setia,2012
[1]
Prof. Dr. H. Abdul Rozak, M.Ag.- Prof. Dr. H. Rosihin Anwar, M.Ag. Ilmu Kalam Edisi Revisi, (Bandung,
PUSTAKA SETIA,2012) : 97-99
[2]
Agus Khunaifi, M.Ag. Ilmu tauhid,
(Semarang, CV. Karya Abadi Jaya,2015) : 164-165
[3]
Richard C. Martin, dkk. Post-Mu’tazilah Genealogi Konflik Rasionalisme dan
Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta, IRCiSoD, 2002) : 61-62
[4]
Agus Khunaifi, M.Ag. Ilmu Tauhid, ( Semarang, CV. Karya Abadi Jaya, 2015) :
166-167
[5]
Muhammad Abdul Hadi Al Mishri. Manhaj dan Aqidah, ( Jakarta, Gema Insani Press,
1992) : 86 dan 88
[6]
Agus Khunaifi, M.Ag. ilmu tauhid, ( Semarang, CV. Karya Abadi Jaya,2015) :
162-164
[7]
Muhammad Abdul Hadi Al Mishri, Manhaj dan Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,
Jakarta:Gema Insani Press 1992. Hal. 124
Komentar