Mengembalikan Marwah Guru

Mengembalikan Marwah Guru
Awal tahun 2018 Indonesia sedang dihebohkan dengan fenomena film layar lebar yang menceritakan tentang pelajar SMA yang pintar, baik hati, bahkan dengan sikap uniknya ia mampu membangun relasi yang baik dengan sesamanya. Kisah ini diangkat dari sebuah novel yang berjudul “Dia Adalah Dilanku tahun 1990” karya Pidi Baiq. Namun, kisah tersebut kontradiksi dengan kondisi yang sesungguhnya mewarnai dunia pendidikan Indonesia akhir ini. Kisah Dilan sebagai sosok anak SMA yang digambarkan dalam film tersebut sangat berbeda dengan salah satu siswa SMAN 1 Torjun yang menganiaya gurunya sendiri sampai berujung maut.
Kondisi ini sangatlah memperihatinkan, sebab bagaimanapun pelajar sekarang memiliki karakter yang berbeda dibandingkan dengan pelajar-pelajar pada zaman dahulu. Hal ini terbukti, kebanyakan pelajar-pelajar sekarang memiliki moral yang buruk seperti melakukan tindakan asusia atau bahkan menganiaya gurunya. Ironinya, mereka cenderung bangga terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan sebagai bukti bahwa mereka memiliki keberanian dan kekuatan.
Berkaca dari undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 atau UUD’45 merupakan hukum dasar tertulis (basic law) yang mewarnai jalannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tentu, sebuah keniscayaan dari aturan yang ada untuk dijalankan dan diimplementasikan. Selain itu, di dalam undang-undang tersebut mengandung salah satu cita-cita luhur bangsa Indonesia. Cita-cita itu terdapat pada alinea keempat pembukaan UUD’45 yaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Berangkat dari kalimat tersebut setidaknya perwujudan dari cita-cita bangsa yang wajib direalisasikan adalah membentuk pribadi yang cerdas bagi para peserta didik.
Dalam konteks tersebut, kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa mengarah kepada kriteria bangsa yang cerdas dalam berkehidupan. Cerdas disini bukan hanya merujuk kepada intelektual semata. Akan tetapi, cerdas dalam berbagai macam aspek kehidupan yang meliputi kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan juga sosial.
Tentu dengan hal tersebut, bangsa Indonesia harus memilki sistem pendidikan yang jelas dan terarah agar mampu mendidik peserta didik dengan sebaik mungkin. Karena dengan sistem pendidikan tersebut yang baik dapat menjadi jembatan untuk melaksanakan tujuan pendidikan nasional seperti yang tertuang didalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, yaitu “bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beraklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Begitu disangyangkan, ketika tujuan pendidikan yang sudah humanis tersebut belum mampu menghasilkan karakter peserta didik yang diharapkan. Kasus Ahmad Budi Cahyono seorang guru kesenian yang dianiaya oleh muridnya sendiri, dengan inisial MH (1/2/2018). Peristiwa tersebut menyebabkan pembuluh darah sang guru pecah setelah dipukul dan akhirnya meninggal dunia (2/2/2018). Peristiwa tersebut menjadi sebuah berita duka sekaligus tamparan bagi dunia pendidikan. Sebab, fungsi pendidikan yang diperuntukan dalam rangka mendidik terasa telah mengalami kegagalan untuk membentuk watak yang bermartabat. Perihal tersebut jelas suatu kemunduran bagi dunia pendidikan di Indonesia, sampai ada peristiwa seorang murid menganiaya gurunya yang mengakibatkan maut.
Berdasarkan realita yang ada menggambarkan bahwa tujuan pendidikan nasional belumlah terimplementasi untuk mewujudkan siswa-siswa yang cerdas dalam berbagai aspek. Kasus ini jelas menjadi cambukan dan pukulan yang sangat berarti dalam dunia pendidikan Indonesia untuk segera menuntaskan permasalahan krusial yang ada dalam dunia pendidikan. Khususnya pendidikan harus mampu menjadi pilar dalam merekontruksi moral-moral yang tidak selaras dengan nilai-nilai kemanusiaaan. Sehingga mampu mewujudkan siswa-siswa yang memanusiakan manusia.
Ta’dzim kepada Guru
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional Indonesia bukanlah perkara yang mudah, akan tetapi tetap masih bisa diupayakan. Salah satu upaya tersebut berupa adanya kesadaran diri dari setiap komponen untuk saling mendukung,  menghargai dan menghormati. Khususnya murid kepada gurunya. Adanya penghormatan dan penghargaan ini maka karakter dari peserta didik dapat terbentuk.
Setelah terwujudnya kesadaran yang berangkat dari peserta didik maka menjadikan terbentuknya potensi intelektual, afeksi dan psikomotor. Ranah-ranah potensi tersebut mampu membentuk akhlak atau perilaku yang baik dibandingkan orang yang tidak mendapatkan pendidikan. Karena adanya pengajaran dan pembelajaran yang diberikan oleh guru mampu menempatkan siswa-siswa pada fitrah nilai-nilai yang luhur. Sehingga guru bukan hanya memberikan transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) akan tetapi transfer nilai-nilai (transfer of value).
Sebegitu pentingnya peran guru, siswa harus ta’dzim kepada guru-gurunya yang telah memberikan sumbangsih yang besar untuk mencerdaskan. Ta’dzim disini dapat diartikan sebagai sopan santun, menghormati kepada orang lain. Hal ini sesuai dengan W.J.S. Poerwadarminta (1904) sikap ta’dzim adalah perbuatan atau prilaku yang mencerminkan kesopanan dan menghormati kepada orang lain, terlebih kepada orang yang lebih tua darinya atau pada seorang kiai, guru dan orang yang dianggap  lebih dimuliakan. Untuk skala yang lebih luas arti ta’dzim bukan hanya pada definisi tersebut. Akan tetapi, konsentrasi penuh dan memperhatikan, bersedia mendengarkan nasehat-nasehatnya, meyakini bahwa yang disampaikan oleh guru adalah kebenaran dan mampu merendahkan diri kepadanya.
Peran Pemerintah dan Masyarakat
Peristiwa yang sudah terjadi dapatlah menjadi pelajaran berharga bangsa Indonesia. Tentunya, dengan saksama memahami gejolak dunia pendidikan yang terjadi di Indonesia. Tugas ini merupakan tanggungjawab bersama baik pemerintah, orang tua, masyarakat dan tentunya guru. Sudah selayaknya pemerintah memberikan regulasi yang mampu memberikan rasa aman dan tentram. Dengan begitu guru mampu untuk mendidik putra-putri bangsa dengan sebaik mungkin tanpa adanya tindakan-tindakan yang mengganggu dan mengancam baik secara fisik ataupun psikis.
Hal yang tak kalah penting lainnya adalah peran dari orang tua dan masyarakat untuk ikut andil dan menaati regulasi yang diberikan pemerintah kepada guru agar mendapatkan rasa aman dan tentram. Orang tua dan masyarakat harus memberi seluas-luasnya ruang kepada guru dalam rangka mendidik putra-putri bangsa dengan sebaik-baiknya. Kemudian memberikan dorongan kepada putra-putri bangsa untuk lebih giat, bersemangat dan ikhlas dalam segala proses pengajaran dan pembelajaran yang diberikan oleh guru.
Oleh karena itu, begitu besar peran dan jasa seorang guru sebagai wasilah ilmu untuk pengajaran dan pembelajaran. Hal tersebut tentunya harus mendapatkan dukungan dan dorongan dari pemerintah (mendapat regulasi) dan juga peran serta dari orang tua dan masyarakat (memberi ruang). Sehingga menghasilkan putra-putri bangsa yang terdidik dengan didikan terbaik dan mampu memanusiakan manusia. Besarnya peran dan jasa seorang guru menandakan bahwa sosok guru benar-benar menjadi salah satu elemen yang terpenting bagi kelangsungan hidup manusia. Khususnya untuk memakmurkan negeri dan menjadi jembatan untuk terwujudnya tujuan nasional pendidikan di Indonesia.(*)
Wallahu a'lam
Oleh : Bayu Anggara, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo Semarang

Dimuat di militan.co pada 23 Februari 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pesan dari Kyai-ku

CERITA AKU DAN YUSUF

Ku panggil engkau dengan sebutan ‘Mamah’